Tentang Uang, Tuhan, dan Kesempatan Bernama Hidup

Ada masa ketika aku percaya bahwa hidup adalah perlombaan.

Siapa yang lebih cepat, siapa yang lebih kaya, siapa yang lebih sukses.

Aku berlari, terus dan terus, dengan napas tersengal.

Mencari sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak benar-benar mengerti.


Tapi setelah semua jatuh, bangun, jatuh lagi, lalu perlahan bangun… aku mulai melihat dunia dengan mata yang berbeda.



Uang.

Dulu aku mengira uang adalah segalanya: lambang keberhasilan, alat untuk membeli kebebasan.

Sekarang aku mengerti, uang hanyalah alat — bukan musuh, bukan Tuhan.

Bukan sesuatu yang harus kukejar sampai melupakan siapa diriku.


Uang adalah sahabat setia yang datang saat aku menjalani hidupku dengan jujur, dengan sepenuh hati.

Bukan karena aku memaksanya datang,

tapi karena aku belajar menjadi pribadi yang pantas untuk menerimanya.


Aku belajar bahwa uang mengalir ke tempat yang dipenuhi dengan niat baik, kerja keras, dan ketulusan.

Bahwa rezeki bukan sesuatu yang harus ditarik paksa,

melainkan sesuatu yang datang karena kita memilih untuk terus tumbuh, walau perlahan.



Tuhan.

Dulu aku mencari Tuhan hanya saat aku ketakutan.

Saat hidup terasa berat, saat doa-doaku terasa seperti jeritan yang hilang di udara.


Tapi sekarang, aku menemukan Tuhan di tempat-tempat kecil:

Di senyum seorang sahabat.

Di angin pagi yang sejuk.

Di suara hatiku sendiri yang pelan-pelan belajar percaya lagi.


Aku tidak lagi memohon-mohon agar hidupku sesuai dengan keinginanku.

Aku mulai berdoa, “Bentuklah aku agar aku siap menerima apa pun yang Engkau siapkan.”


Dan di situlah kedamaian itu tinggal.

Di penerimaan.

Di keberanian untuk tetap percaya, bahkan ketika dunia di luar belum berubah.



Hidup.

Aku sadar, hidup bukan soal mencapai sesuatu.

Hidup adalah soal mengalami — semua rasa, semua warna, semua drama.


Rasa sakit, kehilangan, jatuh, bangkit, ragu, percaya, takut, cinta.

Semuanya adalah bagian dari keajaiban yang bernama keberadaan.


Aku pernah membenci rasa sakit itu.

Sekarang aku tahu, justru rasa sakitlah yang membuat kebahagiaan terasa begitu indah.

Justru kehampaanlah yang membuat rasa syukur terasa begitu penuh.


Dan aku belajar satu hal besar:

Selama aku masih diberi satu hari lagi, satu tarikan napas lagi, aku masih punya kesempatan untuk hidup dengan lebih baik.



Hari ini, aku tidak lagi berlari.

Aku berjalan.

Kadang lambat, kadang tersandung, kadang harus berhenti dan menangis.

Tapi aku berjalan dengan penuh kesadaran, penuh rasa syukur.


Aku tidak lagi memikirkan hidup sebagai sesuatu yang harus dikejar mati-matian.

Aku melihatnya sebagai anugerah —

kesempatan untuk merasakan, untuk belajar, untuk mencintai, dan untuk pulang ke dalam diriku sendiri.


Dan mungkin… itulah sebenarnya arti kemenangan sejati.



Kalau kamu membaca ini dan merasa hidupmu sedang kacau, ingatlah:

Mungkin kamu tidak sedang hancur.

Mungkin kamu sedang dibentuk.

Mungkin ini bukan akhir ceritamu —

melainkan awal dari hidup yang lebih bermakna daripada yang pernah kamu bayangkan.


Selamat mengalami hidupmu.

Selamat pulang ke hatimu sendiri.


🙏🌿