
Ketika Semesta Diam-Diam Membalas Semua Usaha Kecilmu
Ada masa ketika aku berpikir, semesta itu buta.
Bahwa berdoa, berusaha, dan bertahan adalah sia-sia, karena hidup tetap saja berjalan tanpa peduli.
Tapi ternyata, semesta bukan buta.
Semesta hanya menunggu sampai aku benar-benar siap.
Aku mulai melihat tanda-tanda kecil itu.
Semuanya bermula dari sebuah email sederhana.
Bukan dari perusahaan besar, bukan tawaran bombastis.
Hanya seseorang dari komunitas kecil yang pernah kubantu, menawarkan pekerjaan freelance yang lebih besar.
“Kayaknya kamu cocok buat proyek ini,” katanya.
Saat aku membaca email itu, aku terdiam.
Bukan karena proyeknya luar biasa.
Tapi karena aku sadar — ini adalah buah dari langkah-langkah kecil yang dulu terasa sia-sia.
Setelah email itu, tawaran lain mulai datang.
Masih kecil-kecil, masih jauh dari kata mapan.
Tapi ada pola yang mulai terbentuk: setiap tindakan kecilku, setiap niat baikku, ternyata tidak pernah hilang.
Lebih dari sekadar uang, ada perubahan lain yang terasa lebih dalam.
Aku mulai melihat dunia dengan mata yang berbeda.
Dulu, aku mengukur segalanya dengan hasil:
Berapa banyak yang kudapat?
Seberapa cepat aku sukses?
Sekarang, aku mulai menghargai proses.
Aku mulai melihat nilai dari setiap usaha yang kulakukan, bahkan ketika hasilnya belum kelihatan.
Aku belajar mempercayai alur hidup.
Bahwa terkadang, doa kita dijawab dengan jalan yang lebih panjang… bukan untuk menghukum kita, tapi untuk membentuk kita menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.
Lucunya, saat aku berhenti mengejar dengan putus asa, justru pintu-pintu mulai terbuka.
Saat aku berhenti mengutuk keadaan, dunia mulai memantulkan kembali energi yang kutanamkan.
Saat aku berhenti mengeluh dan mulai bersyukur atas langkah-langkah kecilku,
semesta seperti berkata,
“Akhirnya kamu mengerti. Sekarang waktumu tiba.”
Keuangan perlahan membaik.
Aku mulai bisa menabung lagi, meski sedikit.
Aku mulai bangun pagi dengan rasa semangat, bukan rasa takut.
Aku mulai percaya bahwa aku memang dilahirkan untuk mengalami semua ini — jatuh, bangkit, jatuh lagi, lalu bangkit lebih tinggi.
Dan yang paling menggetarkan hatiku:
Aku mulai percaya bahwa aku tidak pernah sendirian di perjalanan ini.
Ada tangan tak terlihat yang selalu menopangku, bahkan di saat-saat aku merasa telah menyerah.
Dulu aku berpikir, mukjizat itu datang dalam bentuk luar biasa.
Sekarang aku tahu, mukjizat itu ada di setiap langkah kecil yang tidak kita abaikan.
Di setiap keputusan untuk tetap mencoba, tetap berharap, tetap percaya — bahkan ketika segalanya terasa hampa.
Mukjizat itu terjadi… ketika kita memilih untuk tetap hidup sepenuh hati, bahkan di tengah ketidakpastian.
Dan hari itu, aku tahu:
Aku sedang hidup dalam mukjizat kecilku sendiri.