
Terjun Bebas Tanpa Pegangan dan Pelajaran Hidup yang Mengubah Segalanya
Di awal keputusanku keluar dari pekerjaan, aku membayangkan semuanya akan berjalan indah.
Aku yakin hidup akan membukakan jalannya sendiri, asalkan aku berani melangkah.
Tapi sejujurnya, tidak ada yang benar-benar mempersiapkanku untuk apa yang terjadi setelahnya.
Aku seperti burung yang melompat dari tebing, hanya untuk menemukan bahwa aku tidak tahu cara mengepakkan sayap.
Aku jatuh… dan jatuh… dan jatuh…
Semua yang dulu kuanggap pasti, perlahan menghilang.
Tabungan yang kukira cukup, ternyata hanya bertahan sekejap mata.
Setiap pengeluaran terasa seperti pisau yang mengiris pelan-pelan rasa aman yang selama ini kubangun.
Bayar listrik, beli makan, transportasi — semua hal kecil yang dulu tak pernah kupikirkan kini menjadi sumber kekhawatiran setiap hari.
Aku mulai mengukur harga-harga dengan ketakutan:
Bolehkan aku membeli makanan ini?
Apakah aku harus menunda membayar ini?
Bisakah aku bertahan sampai minggu depan?
Rasanya seperti berjalan di atas lantai rapuh, mendengar setiap retakan kecil di bawah kaki, menunggu kapan aku akan benar-benar jatuh ke dalam jurang.
Yang lebih menyakitkan bukan hanya soal uang.
Tapi soal kehilangan arah.
Aku mulai bertanya dalam hening, “Apa sebenarnya tujuan semua ini?”
Aku merasa asing di dunia yang tadinya begitu kukenal.
Teman-teman lama mulai menjauh, mungkin karena mereka tidak tahu harus bicara apa saat mendengar keadaanku.
Keluarga mulai khawatir, dan tanpa mereka sadari, tatapan mereka berubah — dari bangga menjadi kasihan.
Sendirian.
Itu kata yang paling tepat menggambarkan rasa itu.
Ada malam-malam ketika aku menangis tanpa suara, hanya memandang atap kamar, bertanya kenapa semuanya terasa salah.
Ada siang-siang ketika aku hanya duduk termenung, tidak tahu harus melakukan apa, tidak tahu untuk apa bangun dari tempat tidur.
Tapi anehnya, di tengah semua kekosongan itu, aku menemukan sesuatu yang selama ini tersembunyi: diriku sendiri.
Aku mulai sadar, selama ini aku hidup hanya berdasarkan ekspektasi orang lain.
Bekerja keras, mencari pengakuan, memenuhi standar yang tidak pernah benar-benar aku pilih.
Aku mengejar apa yang terlihat benar di mata dunia, bukan apa yang terasa benar di hatiku.
Kehilangan semua itu membuatku menghadap cermin — dan untuk pertama kalinya, aku bertanya:
“Kalau aku tidak harus membuktikan apa-apa kepada siapa pun, siapa aku sebenarnya?”
Jawabannya tidak datang sekaligus.
Tapi hari demi hari, aku mulai mengenali diriku dari hal-hal sederhana:
Dari mimpi kecil yang selama ini kupendam.
Dari nilai-nilai yang ternyata tetap bertahan, bahkan ketika segalanya runtuh.
Dari kekuatan untuk bangkit, meski tanpa ada yang menyemangati.
Aku sadar, aku tidak terjun bebas untuk hancur.
Aku terjun bebas untuk belajar.
Belajar bahwa pegangan yang paling kuat bukanlah pekerjaan, gaji, atau jabatan —
tetapi keyakinan bahwa aku bisa tetap berjalan, meski dunia di sekitarku runtuh.
Dari semua kehilangan, aku justru menemukan kebebasan yang selama ini kucari.
Bukan kebebasan untuk hidup tanpa masalah.
Tapi kebebasan untuk tetap memilih bertahan, memilih bergerak, memilih mempercayai hidup — bahkan ketika tidak ada yang terlihat pasti.
Dan di saat itulah, langkah kecilku menuju pemulihan dimulai.